Mahkamah Kontitusi Masihkah Menjadi Pengawal Konsitusi ?


sumber: detik.com

Dinamika Pasca Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Antara Pemilu Serentak, Konstitusi, dan Legitimasi Mahkamah Konstitusi

Oleh: Redaksi 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 kembali mengguncang ruang publik dan arena ketatanegaraan Indonesia. Putusan yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 1 Tahun 2015 ini secara substansial mengatur pemisahan pelaksanaan pemilu nasional (presiden dan legislatif) dan pemilu lokal (pilkada), yang sebelumnya digelar serentak.

Meski putusan ini berlandaskan argumentasi efektivitas penyelenggaraan demokrasi lokal, berbagai kalangan menilai bahwa putusan tersebut justru bertentangan dengan semangat konsolidasi demokrasi dan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang mengatur secara tegas bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD

Kilas Balik Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak nasional (dalam satu waktu seluruh Indonesia) berpotensi menegasikan otonomi daerah dan mengaburkan akuntabilitas lokal. Oleh karena itu, Mahkamah memutuskan bahwa mulai 2029, pelaksanaan pilkada tidak lagi dilakukan bersamaan secara nasional, melainkan dipisah dari pemilu nasional.

Putusan ini sontak menuai kontroversi. Di satu sisi, pemisahan ini dianggap akan memberi ruang lebih luas bagi penguatan demokrasi lokal. Namun di sisi lain, publik mempertanyakan dasar perubahan yang tidak konsisten dan menimbulkan potensi kerancuan dalam desain sistem pemilu nasional.

Kritik dan Kegelisahan: Dimensi Konstitusionalitas

Para pakar hukum tata negara, beberapa Partai dan Pegiat demokrasi dan anggota Parlemen menyatakan keprihatinan atas putusan MK yang justru bertentangan dengan norma konstitusi dan Inkonsistensi Yurisprudensi. 

Kritik utama menyasar pada dua hal:
1. Inkonsistensi Yurisprudensi: 
Dalam putusan sebelumnya (MK No. 55/PUU-XVII/2019), Mahkamah menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak merupakan amanat konstitusi untuk menyederhanakan sistem multipartai dan memperkuat sistem presidensial. Putusan baru ini justru memutar haluan tanpa argumen yuridis yang kokoh.

2. Pelanggaran Prinsip Kepastian Hukum: 
Seringnya perubahan tafsir oleh MK atas norma-norma pemilu mengancam kepastian hukum dan stabilitas sistem demokrasi elektoral Indonesia

Apakah MK Masih Layak Disebut Sebagai Pengawal Konstitusi?

Pertanyaan ini muncul mengingat putusan-putusan MK belakangan ini sering dipersepsikan memiliki kepentingan politis, terutama sejak putusan kontroversial lainnya seperti perkara batas usia capres/cawapres (Putusan No. 90/PUU-XXI/2023) yang juga mendapat sorotan tajam.

Keberadaan MK sejatinya adalah sebagai the guardian of the constitution, pelindung dan pengawal konstitusi dari potensi penyimpangan kekuasaan. Namun ketika MK terlalu sering mengubah arah kebijakan elektoral nasional melalui putusan yang multitafsir dan tidak konsisten, kepercayaan publik mulai terkikis.

Meski secara formal MK tetap menjadi lembaga konstitusional, secara legitimasi moral dan politik, MK mulai dipertanyakan. Netralitas dan independensinya menjadi isu sentral yang harus dijawab, terutama dalam konteks reformasi peradilan konstitusi dan penguatan demokrasi substansial.

Penutup: Antara Harapan dan Kewaspadaan

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 membuka kembali diskusi besar mengenai desain demokrasi Indonesia pascareformasi. Kita dihadapkan pada dilema antara efektivitas pemilu lokal dan konsistensi sistem elektoral nasional.

Namun yang paling penting: Mahkamah Konstitusi harus mengembalikan kepercayaan publik, bukan sekadar lewat putusan, tapi juga lewat transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada konstitusi—bukan pada kepentingan kekuasaan.

Karena tanpa kepercayaan rakyat, pengawalan terhadap konstitusi bisa kehilangan maknanya