Tenaga Ahli Fraksi PDI Perjuangan DPRD DIY
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal). Sehingga, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku. Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal). Sehingga, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku. Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Dalam Amar Putusan atas Perkara No.135/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
Putusan tersebut berimplikasi terhadap pelaksanaan Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpisah dengan Pemilihan DPR RI. Dalam hitungan matematika, jika Pemilihan Umum untuk memilih Anggota DPR RI dilaksanakan pada tahun 2029, maka Pemilihan Umum untuk memilih Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota kemungkinan dilaksanakan pada tahun 2031 untuk melaksanakan frasa “dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota….”
Oleh karena itu, terdapat masa transisi keanggotaan selama kurang lebih 2 atau 2,5 tahun bagi jabatan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota karena mereka dipilih dan dilantik pada tahun 2024 dan masa jabatannya 5 tahun terhitung sejak pelantikan. Menyikapi hal tersebut, pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024, Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Selanjutnya, penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Masalah Konstitusionalitas Putusan Mahkamah Konstutisi
Putusan Mahkamah Konstitusi No.135/PUU-XXII/2024 dinilai oleh sebagian pihak bertetangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan: Ayat (1): “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Ayat (2): “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.”
Pasal ini bersifat imperatif (wajib) dan mengandung batasan waktu yang mengikat secara normatif terhadap lembaga penyelenggara pemilu maupun pembentuk undang-undang. Atas dasar ketentuan tersebut maka secara langsung terjadi pelanggaran terhadap ketentuan lima tahunan Pemilu yang berakibat pada masa jabatan anggota DPRD (2024–2029) akan melampaui lima tahun, sehingga memperpanjang mandat tanpa dasar konstitusional. Legitimasi anggota DPRD yang diperpanjang akan cacat secara hukum karena tidak lagi berdasar mandat elektoral rakyat secara periodik. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut itu dapat dianggap ultra vires (melampaui kewenangan) dan inkonstitusional secara substansial.
Masa Transisi Lembaga Legislatif Daerah
Wacana yang berkembang di masyarakat dalam merespon Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung menuju pada langkah perpanjangan masa jabatan Anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang dipilih pada Pemilu tahun 2024 untuk mengisi kekosongan DPRD dalam masa transisi. Namun jika hal ini dilaksanakan maka berakibat pada pelanggaran terhadap ketentuan masa jabatan Anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota 5 tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPRD, DPD DAN DPRD dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, apabila akan dilakukan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, maka Pemerintah dan DPR harus melakukan perubahan berbagai undang-undang terkait selain undang-undang pemilu yang mengatur tentang masa jabatan Anggota DPRD agar tercipta tertib hukum.
Secara historis, Indonesia pernah mengalami krisis kelembagaan perwakilan rakyat atau masa transisi karena ketiadaan lembaga perwakilan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi namun belum dilaksanakan Pemilihan umum untuk memilih anggota-anggotanya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, maka Berdasarkan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang menjadi cikal bakal badan legislatif di Indonesia. KNIP diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian, Pasar Baru, Jakarta. Tanggal peresmian KNIP itu yang kemudian dijadikan sebagai Hari Lahir DPR RI. KNIP dilantik dan mulai bertugas sejak 29 Agustus 1945 hingga 15 Februari 1950. Pengisian Lembaga negara di masa transisi pada masa tersebut sangat jelas dasar hukumnya yaitu Aturan Peralihan dalam UUD 1945.
Peristiwa transisi kelembagaan perwakilan rakyat berikutnya, setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan maka untuk mengisi kekosongan lembaga legislatif, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) sebagai lembaga perwakilan sementara berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 khususnya Pasal 77 yang berbunyi:
”Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 138, maka untuk pertama kali selama Dewan Perwakilan Rakyat belum tersusun dengan pemilihan menurut Undangundang, Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari Ketua, Wakil-wakil Ketua dan Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggota-anggota Senat, Ketua, Wakil-wakil Ketua dan Anggota-anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan Ketua, Wakil-Ketua dan Anggota-anggota Dewan Pertimbangan Agung”
Ketika itu, apabila sampai pada waktu konstituante terbentuk tetapi belum diadakan pemilu anggota DPR, maka Konstituante lah yang akan merangkap menjadi DPR. DPRS Berakhir setelah terbentuk DPR hasil pemilu pertama di tahun 1955.
Untuk pengisian jabatan DPRD juga pernah terjadi pada masa transisi paska jatuhnya kekuasaan Orde Baru dengan mundurnya Presiden Soeharto dan digantikan oleh BJ. Habibie pada Tahun 1998. Sebagai Presiden, Habibie kemudian menetapkan Pemilu dipercepat dari yang seharusnya 5 tahun setelah Pemilu sebelumnya tahun 1997 menjadi Pemilu di tahun 1999 dengan memilih Anggota DPR, dan DPRD. Sehinga akibat keputusan tersebut, anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu 1997 hanya menjabat selama 2 tahun. Percepatan pemilu dari yang semula lima tahunan menjadi 2 tahun ini tidak melanggar konstitusi karena dalam UUD 1945 yang Naskah Asli tidak diatur tentang Pemilihan umum berikut jadwalnya. Hanya Presiden yang ditegaskan dalam Pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan yang 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih Kembali.
Dari uraian secara historis tentang masa transisi Lembaga perwakilan rakyat tersebut terdapat beberapa perbedaan pengaturan dalam konstitusi. Pembentukan KNIP dan DPRS dalam masa transisi diatur secara tegas dalam aturan peralihan, sedangkan Pemilihan Umum tahun 1999 dapat dianggap tidak melanggar konstitusi karena tidak diatur tentang masa jabatan dan jangka waktu Pemilihan Umum untuk DPR dan DPRD.
Sedangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur pemisahan pemilu nasional dan local yang berimplikasi pada adanya masa transisi kekosongan Lembaga perwakilan rakyat daerah atau DPRD bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan ketentuan undang-undang lainnya selain undang-undang Pemilu yang menjadi objek perkara pengujian undang-undang.
Teori dan Prinsip Hukum Tata Negara yang Relevan
Dalam menghadapi kekosongan jabatan legislatif dan potensi pelanggaran konstitusi, beberapa prinsip dapat dipertimbangkan antara lain:
Teori Kontinuitas Kekuasaan Negara
Toeri Kontinuitas Kekuasaan Negara dapat diterapkan untuk mencegah kekosongan fungsi legislatif. Salah satu pemikirnya adalahThomas Hobbes yang menyatakan bahwa negara harus memiliki otoritas yang terus menerus dan tak boleh kosong, untuk mencegah kekacauan (anarki) seperti dalam kondisi "state of nature". Ini menjadi landasan awal bahwa kekuasaan negara tidak boleh terputus, karena tanpa pemerintahan, masyarakat akan kembali ke kekacauan.
Sedangkan Jean Bodin mengembangkan teori tentang kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang harus terus berjalan dalam semua kondisi. Negara yang berdaulat tidak boleh mengalami kehampaan kekuasaan, bahkan dalam masa transisi
Doktrin Hold Over
Doktrin Hold Over adalah prinsip hukum tata negara yang menyatakan bahwa pejabat publik yang masa jabatannya telah habis, tetap menjalankan tugas dan wewenangnya sementara waktu sampai pengganti yang sah dilantik. Tujuan utama doktrin ini adalah mencegah terjadinya kekosongan kekuasaan (vacuum of power) yang dapat mengganggu jalannya fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan public.
Akar pemikiran doktrin ini berasal dari sistem hukum common law, terutama di Amerika Serikat dan Inggris. William Blackstone menjelaskan tentang pentingnya kelanjutan lembaga negara agar kekuasaan publik tidak vakum dan menegaskan bahwa pejabat publik memiliki tanggung jawab terhadap publik sampai digantikan secara sah. Pemikiran ini menjadi landasan awal sistem common law untuk mendukung pejabat bertahan sementara waktu demi stabilitas public.
Joseph Story, hakim Mahkamah Agung AS, mendukung prinsip bahwa dalam sistem konstitusional, kekuasaan tidak boleh kosong. Dalam sistem Amerika, pejabat bisa “hold over” sampai pengganti ditetapkan secara sah, untuk menjaga fungsi pemerintahan. Pendapat ini memberikan justifikasi yuridis bagi pejabat yang menjabat di luar masa jabatan konstitusionalnya secara transisional.
Namun, di negara dengan sistem civil law seperti Indonesia, hal ini tidak otomatis sah tanpa dasar hukum tertulis (misal UU, Perppu, atau Putusan MK). Kewenangan pejabat hold over harus dibatasi, seperti hanya menjalankan fungsi administratif, bukan membuat keputusan strategis
Asas Salus Populi Suprema Lex Esto (Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi)
Makna asas ini adalah bahwa dalam situasi darurat, krisis, atau ancaman serius terhadap negara atau rakyat, keselamatan umum dapat dijadikan dasar utama dalam pengambilan keputusan, bahkan jika itu menyimpang dari hukum biasa. Asas ini menjadi justifikasi filosofis dan yuridis untuk mengambil langkah-langkah luar biasa (extraordinary measures) dalam rangka menjaga kelangsungan negara dan rakyatnya termasuk menunda pemilu, memperpanjang masa jabatan pejabat, atau mengaktifkan kekuasaan darurat.
Marcus Tullius Cicero, Filsuf dan negarawan Romawi inilah yang pertama kali mengungkapkan kalimat Salus populi suprema lex esto. Dalam karya hukumnya, ia menekankan bahwa hukum harus mengabdi kepada kesejahteraan publik, bukan sebaliknya. Bagi Cicero, hukum yang tidak menjamin keselamatan dan moral publik bukanlah hukum yang sah.
John Locke mendukung kekuasaan darurat oleh eksekutif (prerogatif) jika hukum biasa tidak cukup untuk melindungi rakyat. Ia menyatakan bahwa keselamatan rakyat mengatasi prosedur hukum, tetapi tetap harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan rasional. Memberi legitimasi pada tindakan di luar hukum biasa, jika memang bertujuan menyelamatkan publik dan bersifat sementara
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian diatas secara nyata telah terjadi konflik antara putusan Mahkamah Konstitusi dan norma hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum yang demokratis seperti yang dianut oleh Indonesia, konstitusi adalah hukum tertinggi, dan setiap penyimpangan dari norma-norma konstitusi harus dibatasi, dibenahi, atau ditiadakan, sekalipun berasal dari lembaga pengawal konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu seluruh pihak baik MPR, Presiden, DPR, Penyelenggara Pemilu bahkan Pimpinan Mahkamah Konstitusi harus duduk Bersama mencari jalan penyelesaian tersebut secara lebih elegan dan konstitusional agar keputusan yang dihasilkan dari pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Final dan Mengikat bagi seluruh pihak. Di sisi lain, masyarakat dan civil society dapat mengajukan uji pendapat (constitutional discourse) melalui saluran akademik dan publik untuk mengoreksi atau memberi tekanan atas potensi pelanggaran konstitusi.
Sebagai alternatif solusi konstitusional, maka Pemerintah dan DPR perlu segera menerbitkan undang-undang atau Presiden menerbitkan Perppu untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konnstitusi tersebut dengan mendasarkan pada teori kontiunitas kekosongan Lembaga DPRD sebagai bentuk Langkah darurat konstitusional dengan tetap berdasarkan hukum secara formil. Di saat bersamaan, masyarakat dapat melakukan uji materi terhadap undang-undang atau perppu tersebut terhadap UUD 1945 khususnya pada ketentuan pasal 22E ayat (1) dan ayat (2).
Melalui uji materi tersebut maka perdebatan konstitusionalitas pengunduran jadwal pemilu dan perpanjangan masa jabatan DPRD dapat dilakukan Kembali dalam persidangan mahkamah konstitusi. Dari persidangan uji materi di Mahkamah Konstitusi tersebut diharapkan mendapatkan putusan yang tetap mengacu pada ketentuan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945 atau setidaknya mendapatkan tafsir terhadap konstitusionalitas aturan pemunduran jadwal pemilu dan pengisian jabatan DPRD di masa transisi yaitu di akhir masa jabatannya pada tahun 2029 sampai dengan dengan terpilihnya anggota DPRD yang baru hasil Pemilu tahun 2031. Hal ini penting untuk dilakukan karena jika secara serta merta dilakukan Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa dasar konstitusional atau regulasi transisional yang sah, dapat menimbulkan cacat legitimasi dan membuka ruang inkonsistensi hukum.